Lorong Istana Bulan Sabit terasa lebih sunyi malam ini. Obor-obor di dinding menari-nari, melemparkan bayangan panjang yang menyerupai tangan-tangan hantu, seolah berusaha meraih Selir Mei, yang berdiri tegak di ujung lorong. Kabut tipis merayap masuk dari celah jendela, membawa aroma lembap pegunungan dan desas-desus masa lalu.
Dua belas tahun telah berlalu sejak Selir Mei dinyatakan tewas dalam kebakaran di Paviliun Anggrek. Dua belas tahun, dan kini ia berdiri di sini, di hadapan Kaisar Agung, sosok yang dulu sangat dicintainya.
"Mei… apakah itu benar-benar kau?" Suara Kaisar bergetar, sehalus sutra namun rapuh. Wajahnya, yang dulu tampan dan perkasa, kini dipenuhi kerutan dan bayangan penyesalan.
Selir Mei tersenyum tipis, senyum yang tak lagi mencerminkan kehangatan. "Apakah Yang Mulia merindukanku?"
"Bagaimana mungkin aku tidak merindukanmu? Hidupku adalah neraka tanpa dirimu."
"Neraka, Yang Mulia? Atau penjara?" tanya Selir Mei lembut. "Karena aku ingat dengan jelas, siapa yang mengunci pintuku malam itu."
Kaisar terkesiap. "Aku… aku tidak pernah… Aku menyayangimu!"
"Cinta," desis Selir Mei, suaranya bagai bisikan angin dingin. "Cinta yang membusuk, Yang Mulia. Cinta yang membusuk dalam ingatan."
Ia mendekat, langkahnya anggun bagai dewi bulan, namun matanya sedingin pedang. "Ingatkah Yang Mulia, bagaimana Ibu Suri membenciku? Bagaimana dia mengancam akan mencelakai keluargaku jika aku tidak meninggalkanmu?"
Kaisar memejamkan mata. "Aku… aku tidak berdaya saat itu. Negara dalam bahaya, aku harus menikahi Putri dari Kerajaan Seberang."
"Berdaya," Selir Mei mengulangi kata itu, mencibir. "Yang Mulia selalu berdaya. Yang Mulia hanya memilih jalan yang paling mudah. Dan aku… aku menjadi tumbal."
Ia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kaisar dengan lembut. "Namun, Yang Mulia, ada satu hal yang tidak Yang Mulia ketahui. Sebelum kebakaran itu, aku diam-diam memiliki segala surat perjanjian dan bukti pengkhianatan Ibu Suri. Aku menyebarkannya sebelum 'kematianku'."
Kaisar menatapnya, wajahnya pucat pasi. "Jadi… kau… kau yang merencanakan semuanya?"
Selir Mei tersenyum, senyum yang akhirnya mengungkapkan kebenaran: senyum seorang PEMENANG. "Ya, Yang Mulia. Aku yang merencanakan semuanya. Dan kini, giliranmu untuk merasakan apa yang kurasakan."
Malam itu, Kaisar Agung ditemukan tewas di ruang kerjanya. Racun mematikan ditemukan di dalam cangkir tehnya. Tidak ada jejak orang lain di sana. Kasus ditutup sebagai bunuh diri.
Saat fajar menyingsing, Selir Mei berdiri di puncak menara tertinggi istana, menatap hamparan kerajaan yang kini berada dalam genggamannya. Angin membelai rambutnya, membisikkan rahasia yang hanya ia dan langit yang tahu.
Dan begitulah, sebuah kerajaan dibangun di atas abu cinta yang membusuk, diukir dengan amarah dan dendam yang terpendam, dan didedikasikan untuk melayani kebenaran pahit bahwa korban sejati bukanlah mereka yang mati, tetapi mereka yang hidup dengan penyesalan.
You Might Also Like: Reseller Skincare Bisnis Rumahan Kota
Post a Comment