Hujan menggigil membasahi atap rumah kayu itu, serupa dengan rasa dingin yang menusuk tulang Sumi malam ini. Di luar, dunia seolah runtuh. Asap hitam membubung dari reruntuhan kota, saksi bisu dari kekacauan yang mereka sebut "Perdamaian Abadi". Perdamaian macam apa yang menumpahkan darah dan air mata?
Sumi menatap pantulan dirinya di kaca jendela yang kotor. Bayangan yang patah. Sama seperti hatinya. Delapan tahun. Delapan tahun sejak Lin, cintanya, pengkhianatannya.
Lin berdiri di ambang pintu, siluetnya yang tinggi menjulang, ditelan bayangan malam. "Sumi..." Bisikannya serak, tertahan oleh gemuruh hujan.
"Apa yang kau inginkan, Lin?" Suara Sumi dingin, setajam pecahan kaca. Delapan tahun ia memendam luka, membiarkannya menganga dan meracuni seluruh jiwanya.
Lin melangkah mendekat. Cahaya lentera di meja nyaris padam, menari-nari di wajahnya yang dipenuhi guratan penyesalan. "Aku ingin menebus kesalahan."
Sumi tertawa hambar. "Menebus? Kau pikir kau bisa menebus semua yang telah kau lakukan? Kau mengambil segalanya dariku, Lin. Segala-galanya!"
"Aku tahu," lirih Lin. "Aku... terpaksa."
"Terpaksa?" Mata Sumi berkilat marah. "Alasan yang sangat menarik, Lin. Apakah kau akan memberitahuku bahwa membunuh keluargaku juga 'terpaksa'?"
Lin terhuyung mundur, wajahnya pucat pasi. "Tidak! Itu... itu kecelakaan!"
"Kecelakaan?" Sumi melangkah maju, mendekat hingga mereka berdiri berhadapan. "Kau pikir aku bodoh, Lin? Selama delapan tahun aku mengumpulkan bukti. Aku tahu semuanya. Aku tahu siapa yang memerintahkanmu. Dan aku tahu kenapa."
Tangannya terulur, bukan untuk memeluk, tapi untuk mengeluarkan belati perak dari balik gaunnya. Cahaya lentera memantul di bilah tajam itu, menyilaukan mata Lin.
"Kau lihat lentera ini, Lin?" Sumi berbisik, suaranya rendah dan mematikan. "Setiap tetes minyak yang terbakar adalah hari yang kulalui merencanakan ini. Dan sekarang... waktunya padam."
Lin menatap Sumi, ketakutan tercetak jelas di wajahnya. "Apa yang akan kau lakukan?"
Sumi tersenyum dingin. "Aku akan memberikanmu apa yang pantas kau dapatkan. Balas dendam."
Lin berlutut, air mata mengalir di pipinya. "Ampuni aku, Sumi! Aku mohon!"
Sumi mengangkat belatinya. "Sudah terlambat, Lin. TERLAMBAT!"
Tiba-tiba, gempa mengguncang rumah itu. Lantai berderit dan retak. Lin dan Sumi kehilangan keseimbangan. Ketika mereka berusaha berdiri, Sumi melihat sesuatu di mata Lin yang membuatnya terkejut. Bukan ketakutan, tapi... penerimaan?
Sumi menatap Lin, kebingungan. "Kenapa?"
Lin tersenyum lemah. "Karena... kaulah yang mengendalikan gempa ini, bukan?"
Sumi terdiam. Lalu, senyum sinis perlahan merekah di bibirnya. Delapan tahun. Delapan tahun ia berpura-pura menderita. Delapan tahun ia membiarkan Lin mengira dirinya adalah korban. Sementara ia, dengan sabar, mengumpulkan kekuatan. Ia mempelajari sihir terlarang, mengendalikan alam, membangun pasukan bayangan. Dan sekarang... saatnya membalas dendam pada semua orang yang telah menghancurkan hidupnya.
Di tengah gemuruh kehancuran, Sumi mendekat pada Lin, berbisik di telinganya, "Tahukah kau, Lin, bahwa semua kekacauan ini... sebenarnya adalah upacara untuk membangkitkan..."
You Might Also Like: Learn English Know Difference Between
Post a Comment