Aku Berdiri di Antara Dua Pasukan, Tapi Hanya Namamu yang Kupilih
Aula Emas Istana Zafira berkilauan di bawah ribuan lilin kristal. Namun, kemegahan itu tak mampu menutupi hawa dingin yang merayapi tulang. Setiap langkah bergaung di atas lantai marmer, setiap tatapan pejabat istana adalah pisau yang terhunus. Di balik tirai sutra merah delima, bisikan-bisikan pengkhianatan berdesir seperti ular.
Di tengah pusaran intrik ini, berdiri aku, Putri Mahkota Mei Hua. Di pundakku, takdir kerajaan bertumpu. Di hatiku, terpatri nama Kaisar Jun, sang Penguasa Utara yang perkasa, musuh bebuyutan ayahku.
Cinta kami adalah dosa. Terlarang. Mematikan.
Jun, dengan mata setajam elang dan senyum yang bisa meruntuhkan kerajaan, menawariku kekuasaan. "Mei Hua," bisiknya di tengah taman rahasia, di bawah rembulan pucat, "Pilih aku. Bersamaku, kau akan memerintah dunia."
Aku menatapnya, terpaku. Janjinya manis, namun aku tahu setiap kata adalah kalkulasi, setiap sentuhan adalah strategi. Ayahku, Kaisar Zafira, menawariku hal yang sama: kesetiaan, perlindungan, dan takhta.
Aku berdiri di antara dua pasukan, dua kaisar, dua masa depan yang bertolak belakang. Namun, hanya namamu yang kupilih, Jun.
Aku menikahi Jun. Sebuah pernikahan politik, pikir mereka. Sebuah pengkhianatan sempurna, pikirku.
Hari demi hari, aku memainkan peran istri setia, merangkai jaring kebohongan di sekeliling istananya. Aku mempelajari setiap kelemahan, setiap rahasia kelam. Aku menjadi bayangan, tak terlihat namun hadir di setiap keputusan penting.
Jun, terbutakan oleh cintanya – atau ilusi cintanya – tidak menyadari bahwa bidak yang ia pikir telah diamankan, kini telah menjadi Ratu yang siap bergerak.
Selama ini, semua orang meremehkanku. Putri yang lemah, pion dalam permainan para pria. Mereka salah.
Saat senja tiba, ketika Jun berdiri di balkon istana, memandangi kerajaannya dengan tatapan puas, aku mendekat. Di tanganku, sebilah belati tersembunyi. Belati pusaka keluarga, diolesi racun paling mematikan yang hanya bisa didapatkan di Zafira.
"Aku mencintaimu, Jun," bisikku, suaraku bergetar.
Dia berbalik, senyum terukir di wajahnya. "Aku juga mencintaimu, Mei Hua."
Aku menusuknya.
Senyumnya membeku. Matanya melebar, dipenuhi ketidakpercayaan dan... kekecewaan.
"Kau...?" lirihnya.
"Zafira tidak akan pernah menjadi milikmu," jawabku dingin, mencabut belati berlumuran darah.
Jun jatuh berlutut. Kerajaan Utara akan bergejolak tanpa pemimpinnya. Aku, Putri Mahkota Mei Hua, akan kembali ke Zafira, bukan sebagai pengkhianat, tapi sebagai pahlawan.
Balas dendamku selesai.
Tetapi, di balik tirai sutra itu, ada sepasang mata lain yang menyaksikan segalanya... dan mata itu tersenyum.
You Might Also Like: 194 Panduan Pelembab Skin Barrier Lokal
Post a Comment