Bayangan yang Mengintai di Balik Dupa
Lorong Istana Timur yang sunyi bagai kuburan di malam hari. Hanya cahaya remang dari lentera-lentera yang menari di dinding, menampakkan bayangan-bayangan yang seolah berbisik. Angin dingin menyelinap masuk, membawa aroma dupa cendana yang pahit, aroma yang selalu mengingatkan Xiao Yu pada malam terkutuk itu.
Lima belas tahun lalu, Pangeran Ketiga, Li Wei, dinyatakan tewas dalam perburuan di Gunung Cangshan. Tubuhnya tak pernah ditemukan, hanya kuda tunggangnya yang kembali dengan pelana berlumuran darah. Xiao Yu, yang saat itu masih menjadi dayang kecil, melihat dengan mata kepala sendiri kesedihan Sang Permaisuri yang tak terlukiskan.
Namun, kini… di hadapannya berdiri seorang pria. Tatapannya tajam, jubahnya berwarna arang, aura dingin menguar darinya. Wajahnya… Wajah itu sangat mirip dengan lukisan Pangeran Li Wei yang tersimpan di Paviliun Kenangan.
"Anda… siapakah Anda?" tanya Xiao Yu, suaranya bergetar.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak mencapai matanya. "Apakah kau benar-benar tidak mengenaliku, Dayang Xiao Yu? Dulu, kau sering membawakan teh hangat untukku di Paviliun Anggrek."
Xiao Yu terperanjat. "Tidak mungkin… Pangeran Li Wei telah… telah…"
"Telah mati?" Pria itu menyelesaikan kalimatnya, nada suaranya lembut namun menusuk. "Benarkah begitu? Atau hanya itu yang ingin mereka percayai?"
Udara terasa semakin dingin. Aroma dupa cendana semakin kuat, memenuhi lorong dengan kehadirannya yang menyesakkan.
"Kau… apa yang kau inginkan?" Xiao Yu bertanya, berusaha menguasai dirinya.
Pria itu mendekat, langkahnya ringan bagai hantu. "Aku hanya ingin keadilan. Keadilan untuk Pangeran Li Wei yang dikhianati."
"Dikhianati? Siapa yang…?"
"Siapa yang tega menusuk dari belakang, Dayang Xiao Yu?" Pria itu berbisik di telinganya. "Siapa yang selalu menginginkan kekuasaan? Siapa yang paling diuntungkan dari kematianku?"
Xiao Yu membeku. Kata-kata itu bagai belati yang menancap di hatinya. Matanya membelalak, menyadari kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik tabir kesedihan dan kepalsuan.
"Permaisuri…" bisik Xiao Yu, tak percaya.
Pria itu mengangguk pelan. "Ya, Dayang Xiao Yu. Ibu yang seharusnya melindungiku, justru merencanakan kematianku. Dia ingin membuka jalan bagi saudara laki-lakiku, Pangeran Mahkota. Kau tahu, kekuasaan adalah candu yang memabukkan."
"Lalu… kenapa kau kembali sekarang?"
Pria itu, atau mungkin Pangeran Li Wei, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Dan untuk memastikan bahwa mereka merasakan sakit yang sama seperti yang kurasakan selama lima belas tahun ini."
Ia membungkuk, mengambil dupa cendana yang terjatuh di lantai. Ia meremukkannya di tangannya, serpihan-serpihannya jatuh bagai debu.
"Kau tahu, Dayang Xiao Yu," bisiknya. "Dupa ini… adalah aroma kematian. Dan kematian… selalu datang lebih cepat dari yang kau duga."
Ia menjauh, bayangannya menghilang di ujung lorong yang gelap. Xiao Yu terdiam, berdiri di tengah lorong yang sunyi. Aroma dupa cendana kini terasa seperti racun yang meresap ke dalam setiap pori-porinya.
Namun, saat Xiao Yu menatap tangan gemetarnya, ia melihat sesuatu. Setitik bubuk halus berwarna keemasan. Bubuk yang sama seperti yang selalu ditambahkan Permaisuri ke dalam tehnya. Bubuk yang mematikan.
Sebuah seringai perlahan terbentuk di bibir Xiao Yu. Ia selalu menjadi dayang yang setia, selalu taat pada perintah Permaisuri. Atau begitulah yang mereka kira. Selama bertahun-tahun, ia diam-diam mengganti bubuk mematikan itu dengan ramuan yang membuatnya tampak seperti tidak berdaya. Ia telah melihat semua rencana mereka. Ia tahu kebenaran sejak lama.
Dan sekarang... giliran Xiao Yu yang bermain.
Ia menatap lorong yang gelap, dan bergumam pelan, "Kau salah menilaiku, Pangeran. AKU yang memegang kendali sejak awal."
You Might Also Like: 139 Panduan Tabir Surya Mineral Lokal
Post a Comment