Hujan kota selalu membawa aroma kopi dan kenangan. Aroma itu menjalar dari kedai favorit kita, tempat pertama kali tatapanmu menabrak tatapanku, hingga ke layar ponselku, di mana sisa-sisa chat yang tak terkirim menumpuk seperti debu di hati.
Namamu, Xingyue, terukir di sana, bukan sekadar nama, tapi labirin emosi yang tak pernah kurampungkan. Aku menatap bulan, setiap malam. Cahayanya pucat, mirip sorot matamu saat pertama kali kita bertemu di konser indie yang basah kuyup. Dan entah kenapa, aku merasa bulan itu membalas tatapanku, dengan mata yang sama—penuh misteri, penuh kerinduan.
Dulu, cinta kita terasa seperti nada minor yang dimainkan terlalu keras. Notifikasi demi notifikasi, panggilan video larut malam, mimpi-mimpi yang kita rajut bersama—semua itu sekarang hanyalah echo. Gema yang menyakitkan di ruang hampa.
Kehilangan ini, samar tapi menusuk, terasa seperti lagu yang diputar berulang-ulang dengan volume terlalu pelan. Aku mencari petunjuk di setiap sisa percakapan, di setiap foto yang tersembunyi di folder dalam ponselku. Mencari tahu di mana semuanya salah. Kapan jalinan itu mulai terurai.
Misteri hubungan kita adalah kotak Pandora. Setiap kali kubuka, harapan dan kepedihan tumpah ruah. Mengapa kau pergi? Mengapa kau menghilang tanpa jejak? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, seperti orbit bulan yang tak pernah berhenti.
Lalu, suatu malam, sebuah pesan tiba. Bukan darimu. Tapi dari sahabatmu.
Rahasia itu terungkap dalam beberapa baris teks. Penyakit. Kebohongan demi kebaikan. Kepergianmu adalah cara untuk melindungiku. Melindungi kita.
Amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu. Aku merasa tertipu. Dikhianati. Tapi di saat yang sama, aku mengerti. Aku memahami pengorbananmu.
Saatnya balas dendam. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan air mata. Tapi dengan ketenangan.
Aku mengetik sebuah pesan terakhir. Bukan untukmu. Tapi untuk diriku sendiri. Sebuah pesan perpisahan. Sebuah janji untuk melanjutkan hidup.
Aku mematikan ponselku. Menatap bulan sekali lagi. Kali ini, aku tidak melihat matamu di sana. Aku melihat diriku.
Balas dendamku? Sebuah senyum yang kupaksakan. Sebuah keputusan yang kubuat tanpa sepatah kata pun.
Layar itu mati, sama seperti kenangan kita. Tapi jejaknya membekas, seperti hantu digital yang tak pernah benar-benar hilang.
Dan aku… aku hanya bisa berharap, di suatu tempat di alam semesta ini, kau tahu betapa aku mencintaimu—dan betapa aku akan terus menatap bulan, selamanya.
You Might Also Like: 48 Grupo Lufthansa Muda Nome De
Post a Comment